[ad_1]

Ilustrasi ini di Generate dengan AI

Di era digital yang kian berkembang pesat, media sosial telah menjelma menjadi platform utama bagi masyarakat untuk berbagi informasi dan berinteraksi. Kemudahan akses dan interkoneksi yang ditawarkannya membuka gerbang bagi pertukaran ide dan pengetahuan secara global. Namun, di balik sisi positifnya, media sosial juga menjadi lahan subur bagi penyebaran disinformasi.

Saat pandemi Covid-19, banyak informasi palsu yang beredar mengenai vaksin, seperti klaim bahwa vaksin dapat menyebabkan kemandulan, mengandung mikrocip, atau dapat mengubah DNA manusia. Misinformasi ini berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap vaksinasi dan memperlambat usaha penanggulangan pandemi.

Selain di isu kesehatan, disinformasi juga banyak diproduksi dan tersebar di berbagai kanal media sosial setiap periode pemilihan umum (Pemilu). Informasi menyesatkan ini biasanya dibuat dengan tujuan untuk mendiskreditkan calon tertentu atau untuk memanipulasi opini publik. Hal ini tentunya dapat mengurangi kepercayaan terhadap proses pemilu dan mereka mungkin memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pesta demokrasi tersebut.

Disinformasi bukan hanya mengaburkan fakta, tetapi juga dapat merusak kepercayaan publik, hingga memicu konflik sosial. Penyebaran misinformasi adalah masalah kompleks yang melibatkan berbagai aktor dan kepentingan. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang komprehensif dan kolaboratif, melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, akademisi, media, hingga masyarakat sipil untuk melawan disinformasi.

Contoh Disinformasi: Pidato Presiden Joko Widodo menggunakan Bahasa Mandarin

Disinformasi yang diperkuat oleh AI bukan hanya mempengaruhi persepsi masyarakat, tetapi juga dapat mengganggu proses demokrasi, memicu ketegangan sosial, dan bahkan membahayakan kesehatan masyarakat. Mengatasi disinformasi yang semakin kompleks ini menjadi tantangan besar bagi banyak pihak, termasuk pemerintah, platform media sosial, dan masyarakat luas.

Kerjasama Multi-Stakeholder

Kerjasama multistakeholder adalah bentuk kerjasama yang melibatkan berbagai pihak yang memiliki kepentingan atau peran dalam suatu isu tertentu. Pihak-pihak ini bisa berasal dari berbagai sektor, termasuk pemerintah, sektor swasta, organisasi non-pemerintah (LSM), masyarakat sipil, akademisi, dan lainnya. Tujuan utama dari kerjasama ini adalah untuk memanfaatkan keahlian, sumber daya, dan perspektif yang beragam guna mencapai tujuan bersama yang lebih efektif dan berkelanjutan.

Membangun ketahanan masyarakat terhadap disinformasi adalah sebuah upaya kolektif yang membutuhkan komitmen dan partisipasi aktif dari semua pihak. Dengan sinergi dan kolaborasi, kita dapat menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan aman. Berikut rekomendasinya:

Pemerintah: Sebagai pemeran penting dalam mengatur dan mengawasi penyebaran disinformasi di media sosial, pemerintah harus memikirkan kebijakan dan regulasi yang tepat untuk dapat menetapkan standar untuk memastikan bahwa platform media sosial yang bertanggung jawab dalam mengelola konten yang disebarkan. Misalnya, dengan pemblokiran konten yang terbukti menyesatkan atau berbahaya. Selain itu, pemerintah juga dapat mendukung dan mengembangkan strateginya dalam menjalankan program edukasi literasi digital untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memverifikasi informasi.

Platform Media Sosial: Perusahaan media sosial seperti Facebook, Instagram, YouTube, dan X (Twitter) memiliki tanggung jawab besar dalam mengontrol konten yang disebarkan di platform mereka. Dengan mengembangkan algoritma yang lebih canggih dan memperkuat kebijakan moderasi konten, perusahaan-perusahaan ini dapat meminimalkan penyebaran disinformasi. Selain itu, mereka juga dapat bekerja sama dengan pemerintah dan organisasi lain untuk mengedukasi pengguna tentang pentingnya memverifikasi informasi sebelum membagikannya. 

Akademisi dan Pakar Teknologi: Riset dan inovasi dari para akademisi dan pakar teknologi sangat penting dalam memahami pola penyebaran disinformasi dan mengembangkan teknologi deteksi yang lebih efektif. Selain itu, mereka juga dapat menyediakan bukti ilmiah yang mendukung kebijakan yang diambil oleh pemerintah maupun perusahaan media sosial. Kolaborasi antara universitas dan industri teknologi dalam proyek penelitian dapat menghasilkan inovasi yang bermanfaat dalam memerangi misinformasi.

Organisasi Masyarakat Sipil: Masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah memainkan peran penting dalam edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat. Dengan kapasitas dan relasi, mereka dapat memberikan pelatihan literasi digital, hingga mengorganisir kampanye di media sosial. Melalui kampanye dan program pelatihan, mereka dapat memberdayakan masyarakat untuk lebih kritis terhadap informasi yang mereka terima dan membagikan informasi yang akurat.

Strategi Pengembangan Ketahanan Masyarakat

Pengembangan ketahanan masyarakat dalam melawan disinformasi memerlukan pendekatan yang komprehensif. Berikut beberapa strategi yang dapat diimplementasikan melalui kolaborasi multi-stakeholder untuk mengembangkan ketahanan masyarakat terhadap disinformasi di media sosial:

  • Edukasi Literasi Digital: Masyarakat perlu dibekali dengan kemampuan untuk mengidentifikasi sumber informasi yang kredibel dan membedakan antara informasi yang benar dan salah. Berbagai program edukasi atau pelatihan literasi digital dapat dilakukan oleh pemerintah, organisasi masyarakat sipil, serta melalui kerja sama dengan institusi pendidikan dan platform media sosial. Salah satu inisiatif untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan masyarakat Indonesia dalam menggunakan teknologi digital secara positif dan kreatif adalah Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi. Gerakan ini terdiri dari berbagai organisasi atau jejaring yang fokus pada peningkatan literasi digital di Indonesia.
Beberapa Progam Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi
  • Pengembangan Teknologi Deteksi Disinformasi: Mendorong penelitian dan pengembangan teknologi untuk mendeteksi dan mengurangi penyebaran misinformasi. Ini termasuk penggunaan kecerdasan artifisial (AI) untuk memantau dan mengidentifikasi konten yang tidak akurat. Pengembangan teknologi dan pemeriksaan fakta terhadap informasi yang beredar di media sosial atau internet untuk memastikan kebenarannya juga telah dilakukan oleh berbagai organisasi di Indonesia, seperti Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dan TurnBackHoax.id.
  • Kampanye Kesadaran Publik: Kampanye melalui media massa dan media sosial bisa menjadi salah satu cara untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya disinformasi dan cara menghadapinya. Kampanye ini dapat melibatkan influencer, tokoh masyarakat, dan media massa untuk mencapai audiens yang lebih luas.

Contoh Kampanye Online #BertemanAman

  • Regulasi dan Kebijakan yang Mendukung: Pemerintah harus mengembangkan kebijakan yang jelas untuk mengatasi disinformasi, termasuk regulasi terhadap platform media sosial. Tentunya pengembangan regulasi ini harus mendukung transparansi dan akuntabilitas dalam penyebaran informasi di media sosial. Dalam perumusan regulasi ini, penting untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan implementasi yang efektif.
  • Kolaborasi Internasional: Selain kolaborasi antar lembaga dalam negara, membangun kerja sama internasional juga dapat dilakukan untuk menangani disinformasi yang bersifat lintas batas dengan cara berbagi pengetahuan, sumber daya, dan praktik terbaik antar negara.

Kolaborasi multi-stakeholder merupakan strategi yang efektif dalam menghadapi tantangan disinformasi di media sosial. Dengan menggabungkan kekuatan dan keahlian dari pemerintah, platform media sosial, akademisi, pakar teknologi, serta organisasi masyarakat sipil, kita dapat membangun ketahanan masyarakat yang kuat terhadap disinformasi. Melalui upaya bersama ini, diharapkan dapat terciptanya ekosistem informasi digital yang lebih sehat dan dapat dipercaya.

Artikel ini ditulis oleh Defira Novianti Crisandy | Penulis adalah mahasiswa Kampus Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta dan Program Manager ICT Watch Indonesia




[ad_2]

Source link

Share.

Leave A Reply